Saat ibuku berusia 29 tahun, ayahku pergi untuk selamanya meninggalkan 5 orang anak yang masih kecil-kecil. Saat itu ibuku tidak bekerja, tapi demi memberi makan anak-anaknya, beliau berusaha untuk bekerja dan bekerja. Dari berjualan kue, menjadi calo hingga pekerjaan yang seharusnya dikerjakan laki-lakipun ia kerjakan.
Ibu b

Untuk menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya, ibuku rela bekerja lebih keras lagi. Seandainya tidak ada uang, maka ia akan mengutang pada teman, dan hutang itu selalu berhasil dilunasi.
Untuk anak-anaknya ... ibuku berjuang. Bagi pendidikkan anak-anaknya, tak kenal lelah ia mencari uang. Kalaupun saat itu hubungan kami dengan saudara menjauh itu karena, ibuku tidak mau orang memandang dan mengasihani kami sebagai anak yatim. Kami dilarang menerima sepersenpun uang dari siapapun. Demi apa? Demi harga diri.
Harga diri? Semula kami tidak mengerti ... tapi ... lama kelamaan kami menyadari, bahwa ibu kami ingin orang-orang disekitar kami tidak memandang kasihan atau rendah kepada kami.
Bahkan ... setelah menikah ... kami diajarkan untuk tidak saling meminta walau kepada saudara sendiri. Untuk apa?? Ya ... untuk harga diri bagi diri kami sendiri terutama menjaga perasaan suami/istri kami. Karena baginya ... kalau anaknya sudah siap berkeluarga ... ya harus siap pula menanggung tanggung jawab pada keluarga kecilnya. Kalaupun harus saling membantu ... bukan untuk gagah-gagahan, tapi lebih sebagai ungkapan sayang dan persaudaraan antara adik dan kakak.
Aku bangga dengan ibuku. I always love and proud of u, mom.